Sri Lanka Blokir Sawit, Tapi Harga CPO Naik, Bagaimana Mungkin?

Sri Lanka Blokir Sawit, Tapi Harga CPO Naik, Bagaimana Mungkin? – Penguatan lebih lanjut minggu lalu. Prospek penguatan permintaan dengan pasokan terbatas turut mendorong kenaikan harga.

Sri Lanka Blokir Sawit, Tapi Harga CPO Naik, Bagaimana Mungkin?

transcurrents – Sepanjang minggu, harga CPO Malaysia naik poin demi poin sebesar 0.8% menjadi RM3.767 / ton. Namun penguatan pada minggu ini mulai menurun dibandingkan minggu sebelumnya yang naik menjadi 1,22%.

Pemulihan harga bahan baku dari Malaysia dan Indonesia terjadi di tengah sentimen minus dari Sri Lanka yang menyudahi buat memblokir memasukkan minyak sawit serta membukatanah baru buat perkebunan sawit.

Sebelumnya, pemerintah Sri Lanka dikabarkan telah melarang impor minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit baru. Bahkan meminta produsen untuk secara bertahap membasmi perkebunan yang ada.

Dalam laporan cnbcindonesia, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengatakan keputusan itu dibuat untuk membebaskan negara itu dari perkebunan kelapa sawit dan konsumsi minyak sawit.

“Perusahaan dan petani (minyak sawit) akan diminta untuk menghentikan ekstraksi 10% sekaligus dan menggantinya setiap tahun dengan pertanian karet atau tanaman ramah lingkungan,” kata Rajapaksa dalam sebuah pernyataan. / 2021).

Sementara itu, para pemerhati daerah menjelaskan penciptaan minyak sawit pula sudah menimbulkan deforestasi yang membengkak serta kehancuran ekosistem. Langkah mengejutkan yang diambil oleh pemerintah Sri Lanka pasti akan membingungkan industri minyak nabati sebagai negara penghasil utama minyak kelapa.

Baca juga : Sri Lanka Larangan Burqa untuk Keamanan Nasional

Bahkan impor minyak sawit dan jumlah perkebunan meningkat signifikan selama beberapa tahun terakhir. Menurut Asosiasi Industri Minyak Sawit, ada sekitar 11.000 hektar perkebunan kelapa sawit di Sri Lanka, terhitung lebih dari 1% dari total luas yang ditanam untuk teh, karet dan kelapa.

Sri Lanka sendiri mengimpor sekitar 200.000 ton minyak sawit setiap tahun, terutama dari Indonesia dan Malaysia. Dibandingkan total ekspor kedua negara, pangsa pasar Sri Lanka relatif kecil sehingga tidak berdampak nyata terhadap harga. Menurut data UN Comtrade, ekspor minyak sawit dan turunannya baik dimurnikan maupun tidak mencapai USD 37 juta pada 2019.

Pada tahun yang sama, Indonesia menyediakan sekitar 42% dari total impor Sri Lanka yang hanya $ 87,2 juta. Sedangkan total ekspor barang Indonesia di bawah HS 1511 dua tahun lalu mencapai $ 14,7 miliar. Artinya pangsa ekspor Sri Lanka hanya 0,25%. Melihat angka-angka itu jelas sangat sedikit.

Indonesia terutama mengekspor barang-barang ini ke India dan Cina. Pada 2017-2019, Indonesia mengekspor produk minyak sawit ke India rata-rata dari $ 2,25 miliar menjadi $ 4,9 miliar.

Sementara itu, RI mengekspor minyak sawit ke China sebesar USD 2 miliar – USD 2,5 miliar. Dari angka-angka tersebut saja, jelas terlihat bahwa pangsa ekspor ke Sri Lanka tidak seberapa

dibandingkan India dan China.

Banyak analis dan pakar CPO memperkirakan harga CPO akan lebih baik dari tahun lalu. Naiknya harga CPO diharapkan mampu memperkuat fundamental emiten sawit Ibu Pertiwi.

Kepala Riset PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Hariyanto Wijaya, dalam studi yang dilakukan pada 31 Maret lalu, memperkirakan harga CPO kemungkinan akan kembali normal dalam beberapa bulan ke depan, sedangkan harga jual rata-rata (ASP) sepanjang tahun 2021 diperkirakan akan kembali normal. menjadi lebih tinggi. puncak tahun penuh 2020.

Harga spot CPO telah naik dari RM 2022 / ton rendah pada 12 Mei 2020 menjadi RM 4183 / ton pada 25 Maret 2021 Karena gangguan pasokan minyak nabati akibat efek penundaan di El Nino dan fenomena cuaca baru-baru ini di La Nina apa yang menyebabkan tingkat pasokan.

CPO di Malaysia dan Indonesia, dua negara penghasil CPO terbesar, sudah turun ke level yang rendah, ”ujarnya dalam studi yang dikutip CNBC Indonesia, Kamis (4/8/2021).

Ia menjelaskan pada Palm Oil Conference (POC) 2021 pada 24 Maret 2021, tiga peramal CPO terkemuka yaitu Thomas Mielke, Dr. James Fry dan Dorab Mistry setuju bahwa kenaikan harga CPO yang luar biasa tinggi saat ini tidak berkelanjutan dan akan menjadi normal dalam beberapa bulan mendatang.

Dari kisaran prediksi CPO dari tiga peramal CPO terkemuka, dapat disimpulkan bahwa meskipun harga CPO dapat dinormalisasi dalam beberapa bulan mendatang, rata-rata harga jual CPO sepanjang tahun 2021 seharusnya lebih tinggi dari pada seluruh tahun 2020.

Selain itu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC) memprediksikan bahwa secara keseluruhan prospek minyak sawit pada tahun 2021 terlihat lebih baik dari harga rata-rata tahun 2019 dan 2020. CPOC mengatakan akan bergantung pada pengembangan La Nina di kompleks kedelai Amerika Selatan dan mandat biodiesel B30 Indonesia.

“Pelaksanaan penuh mandat B30 di Indonesia dan mandat B20 di Malaysia sangat penting untuk menjaga konsumsi domestik dan menyerap proyeksi peningkatan pasokan minyak sawit. Kekurangan minyak nabati global akan mempengaruhi harga CPO pada tahun 2021 ” – merangkum CPOC dalam ringkasan Laporan berjudul “Prospek Pasokan dan Permintaan Minyak Sawit Tahun 2021”.

Sri Lanka melarang impor minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit baru, termasuk dari Indonesia. Negara tersebut meminta produsen minyak sawit untuk secara bertahap mencabut izin perkebunan yang ada. Mengutip Reuters, Selasa (6/4), impor minyak sawit dan jumlah perkebunan di Sri Lanka mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Kepala negara Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa berkata ketetapan pantangan memasukkan minyak sawit dilakukan untuk membebaskan negara dari perkebunan serta mengkonsumsi minyak sawit. Sampai saat ini, Sri Lanka mengimpor kurang lebih 200.000. Minyak sawit setiap tahun.

Sebagai pengingat, sebagian besar impor kelapa sawit Sri Lanka berawal dari Indonesia serta Malaysia. Sedangkan itu, para pencinta daerah menyatakan pembuatan minyak sawit sudah menimbulkan deforestasi yang membengkak serta kehancuran ekosistem.

“Perusahaan dan entitas yang terlibat dalam budidaya (kelapa sawit) akan diwajibkan untuk menghentikannya, segera menghapus 10 persen. Dan setiap tahun menggantinya dengan penanaman karet atau tanaman ramah lingkungan, ”bunyi keterangan dari kantor presiden.

Diketahui bahwa industri minyak sawit Sri Lanka telah menginvestasikan 26 miliar rupee Sri Lanka, atau $ 131 juta, untuk memiliki 11.000 hektar perkebunan kelapa sawit. Harga minyak sawit mentah (CPO) hari ini pada Jumat (4/9/2021) naik lebih dari 1%. Prospek penguatan permintaan dengan pasokan terbatas turut mendorong kenaikan harga.

Harga Minyak Sawit Mentah Malaysia untuk pengiriman Juni di Bursa Malaysia Derivatives Exchange naik 1,4% menjadi RM3800 / ton. Pukul 10.50 WIB, harga CPO tercatat RM 3844 / ton.

“China membeli 150.000 ton minyak sawit rafinasi, penghilang bau, pemutih (RBD) pada hari Kamis untuk pengiriman Juni-Juli mulai akhir Mei, sehingga meningkatkan volatilitas harga,” kata Marcello Cultrera, Manajer dan Pialang Penjualan Kelembagaan di Phillip Futures di Kuala Lumpur. Dia menambahkan, tingginya volume tender minyak sawit mentah juga mendorong kenaikan harga.

Pedagang saat ini menunggu laporan pasokan dan permintaan kedelai bulanan dari Departemen Pertanian AS, waktu setempat hari ini, dan laporan Dewan Minyak Sawit Malaysia, yang akan dirilis pada hari Senin, dengan ekspektasi bahwa pengiriman kedua sayuran akan tetap terbatas.

Faktanya, minyak sawit menemui sentimen negatif. Sri Lanka menyudahi buat memblokir memasukkan minyak sawit serta membuka zona baru buat perkebunan kelapa sawit.

Sri Lanka sendiri mengimpor sekitar 200.000 ton minyak sawit setiap tahun, terutama dari Indonesia dan Malaysia. Dibandingkan dengan total ekspor kedua negara, pangsa pasar Sri Lanka relatif kecil sehingga tidak terlalu mempengaruhi harga. Menurut data UN Comtrade, ekspor minyak sawit dan turunannya baik dimurnikan maupun tidak mencapai USD 37 juta pada 2019.

Pada tahun yang sama, Indonesia menyediakan sekitar 42% dari total impor Sri Lanka yang hanya $ 87,2 juta. Sedangkan total ekspor barang Indonesia di bawah HS 1511 dua tahun lalu mencapai $ 14,7 miliar. Artinya pangsa ekspor Sri Lanka hanya 0,25%. Melihat angka-angka itu jelas sangat sedikit.

Indonesia terutama mengekspor barang-barang ini ke India dan Cina. Pada 2017-2019, Indonesia mengekspor produk minyak sawit ke India rata-rata dari $ 2,25 miliar menjadi $ 4,9 miliar.

Sementara itu, Indonesia mengekspor minyak sawit ke China sebesar USD 2 hingga 2,5 miliar. Dari angka tersebut saja, terlihat jelas bahwa pangsa ekspor ke Sri Lanka tidak seberapa dibandingkan dengan India dan China.

Gejolak harga diyakini akan berlanjut sebelum koreksi lebih lanjut di paruh kedua tahun ini. Berdasarkan data Bursa Malaysia, Senin (12/4/2021), harga CPO kontrak Juni 2021 mengalami penyesuaian 33 poin pada harga penyelesaian 3.767 ringgit per ton. Sebelumnya, harga kontrak mencapai 3.791 ringgit per ton.

Sementara itu, CPO berjangka untuk pengiriman Juli 2021 terpantau turun 29 poin menjadi 3.554 ringgit per ton setelah sempat mencapai puncaknya di 3.577 ringgit per ton.

Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan penyesuaian harga yang berlangsung wajar. Menurut dia, selama ini harga CPO stabil di kisaran 3.700 ringgit per ton dalam sepekan terakhir. “Level harga saat ini yang mendekati 4.000 ringgit per ton jelas tergolong tinggi, sehingga wajar saja jika terjadi koreksi,” kata Wahyu saat dihubungi, Senin (12/4/2021).

Secara umum pasar sawit masih cukup positif, terangnya. Salah satu faktor pendukung CPO adalah prospek terbatasnya pasokan akibat meningkatnya ekspor dari salah satu negara produsennya, Malaysia. Menurut data Intertek Testing Services, negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia itu mencatatkan peningkatan ekspor sekitar 11,33 persen.

Periode 1–10 April 2021 sebanyak 345.010 ton. Sentimen ini juga ditambahkan pada perayaan Ramadhan dan Idul Fitri di negara-negara Asia, khususnya Indonesia dan Malaysia. Wahyu mengatakan keterbatasan pasokan dari negara produsen bisa membuat harga CPO tetap tinggi.

Kendati demikian, Wahyu berkata peluang harga CPO pula dibayangi sederet sentimen negatif dari luar negeri. Dia menjelaskan, kekhawatiran pasar akan kenaikan inflasi akibat penguatan dolar dapat melemahkan harga minyak sawit.

Wahyu melanjutkan, setelah berbulan-bulan Ramadhan dan Idul Fitri, potensi koreksi harga CPO akan semakin kuat. Hal ini terjadi sesuai dengan siklus cuaca La Nina yang telah selesai, yang memudahkan proses penanaman dan pemanenan buah kelapa sawit.

Cuaca yang membaik juga akan berdampak positif pada bahan baku substitusi CPO yaitu kedelai. Peningkatan produksi kedelai dari negara-negara penghasil seperti Amerika Serikat dan Brazil, serta penurunan permintaan, akan mendorong turunnya harga kedelai dan CPO.

Wahyu memprediksi pada kuartal II-2021 harga CPO diperkirakan berada pada kisaran 3.500 hingga 4.100 ringgit per ton. “Saat ini masih ada tarik menarik antara sentimen yang ada di pasar CPO. Jadi, meski nanti naik, level 3.600 masih menjadi target koreksi, ”ucapnya.

Direktur Godrej International Ltd, Dorab Mistry memperkirakan harga CPO akan terus mengalami penyesuaian pada paruh kedua tahun 2021. Dia menjelaskan pergerakan harga minyak sawit akan terbagi dalam dua fase.

Tahap pertama, hingga Juni tahun depan, harga minyak sawit akan mencapai 3.300 ringgit per ton. Kemudian, di tahap kedua, harga akan turun menjadi 2.700 ringgit per ton mulai Juli tahun depan. Kenaikan harga tersebut sejalan dengan proyeksi Mistry sebelumnya yang memperkirakan harga CPO akan naik tajam sebelum akhir Maret.

Hal itu terjadi seiring dengan optimisme permintaan dan penawaran bahan baku ini serta mood pasar yang positif. Sementara prospek minyak nabati akan tetap ketat dalam jangka pendek, dia mengatakan produksi kelapa sawit akan meningkat pada paruh kedua tahun ini. “Harga minyak sawit mahal dan bersaing hanya karena produk substitusi seperti minyak kedelai atau minyak bunga matahari juga tinggi,” jelasnya.

CEO LMC International James Fry mengatakan hal yang sama. Menurut dia, harga minyak sawit berpotensi menyesuaikan ke level 3.300 ringgit per ton pada Q4 2021 bersamaan dengan peluang perbaikan pembuatan yang hendak tingkatkan persediaan. Fry menjelaskan rendahnya produksi sawit menjadi masalah besar bagi pasokan CPO dunia.

Baca juga : Laporan Senat Merinci Teknik Penyiksaan Yang Digunakan Dalam Interogasi CIA

Kendala pasokan ini diperparah dengan fakta bahwa pemerintah tidak menghentikan sementara mandat biodiesel untuk mengurangi tekanan permintaan. “Kondisi berbeda terjadi pada 2016-2017. Selain itu, pergerakan bullish CPO juga memasuki fase terakhirnya kali ini, ucap Fry.

Sementara itu, Presiden Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) Wan Zawawi bin Wan Ismail berkata, harga CPO mungkin hendak berada di kisaran 3.846 ringgit per ton pada paruh pertama 2021. Hal tersebut sejalan dengan kekhawatiran pasar akan kendala pasokan akibat gangguan produksi pada awal tahun ini.

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pertumbuhan penduduk di China akan menjadi salah satu faktor utama yang membuat harga CPO tetap tinggi. Di sisi lain, konsumsi minyak nabati di Timur Tengah juga diperkirakan akan meningkat dengan dibukanya kembali haji dan umrah di Arab Saudi.

Atas dasar itu, Wan Zawawi memperkirakan impor CPO China mencapai 6,8 juta ton, di mana 2,8 juta ton di antaranya berasal dari Malaysia. Sedangkan impor dari Timur Tengah mencapai 2,7 juta ton, 1,8 juta ton di antaranya berasal dari Malaysia. “Bulan Ramadhan mendatang juga akan meningkatkan permintaan minyak dan lemak nabati,” ujarnya.

Wan Zawawi melanjutkan, data produksi CPO akan meningkat di dua negara pengekspor utama, Indonesia dan Malaysia. Diperkirakan total produksi Malaysia akan meningkat menjadi 19,6 juta ton pada 2021, dibandingkan 19,14 juta ton pada 2020. Sedangkan total produksi minyak sawit Indonesia akan menjadi 45 juta ton pada 2021. 2,2 juta ton dibandingkan total produksi Indonesia pada 2020.